Seminggu terakhir ini beranda medsos dipenuhi keluhan banjir dimana-mana. Terdapat berbagai macam jenis keluhan yang muncul mulai dari yang menyalahkan takdir hingga menyalahkan Tuhan.
Jika diklasifikasi berdasarkan paradigma Paulo Freire, keluhan yang paling banyak adalah kesadaran magis. Kesadaran ini lebih banyak menyalahkan takdir sebagai penyebab terjadinya banjir. Bagi kelompok ini banjir mutlak urusan Tuhan. Dan sudah fitrahnya setiap bulan Desember curah hujan pasti tinggi dan akan menyebabkan banjir dimana-mana.
Memang tidak bisa disangkal, jawaban inilah yang paling memberikan rasa puas terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. "Mengapa kamu miskin? "Memang sudah takdir Tuhan saya miskin". Nah, siapa yang akan membantah dengan jawaban seperti itu, karena kita meyakini bahwa kejadian apapun adalah takdir Tuhan.
Disamping keluhan dengan kesadaran magis diatas, tidak sedikit pula keluhan dengan kesadaran naif. Kesadaran ini lebih menyalahkan ulah manusia sebagai penyebab terjadinya banjir.
Bagi kelompok ini banjir tidak hanya semata-mata takdir Tuhan, tetapi masyarakat juga memberikan saham yang cukup besar bagi terjadinya banjir. Tuhan memang menetapkan hukum alam bahwa di setiap bulan Desember curah hujan pasti tinggi. Tapi atas ulah manusia pula air tidak terserap sempurna ke dalam bumi dengan menebang hutan seenak perutnya dan mengganti lahan resapan dengan bangunan.
Itulah sebagian besar keluhan yang beredar di medsos hari ini, sedikit sekali (untuk tidak mengatakan tidak ada) yang mencoba melihat lebih jauh fenomena banjir ini. Masyarakat lebih banyak menjadikan takdir sebagai penyebab banjir, sementara sebagian kecil yang melihat ulah masyarakat sebagai penyebab terbesar terjadinya banjir.
Padahal jika ditelisik lebih jauh justru pemerintahlah yang mempunyai peran besar dalam fenomena tahunan ini. Mengapa? Sebab pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab membuat regulasi tata kelola lingkungan dan memastikan regulasi tersebut berjalan dengan baik. Dan pemerintah pula yang seharusnya mengatur jalur irigasi dengan benar. Jadi, terjadinya fenomena banjir tidak hanya semata-mata takdir Tuhan dan ulah masyarakat, tapi juga bagian dari kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan.
Nah, cara pandang konfrehensif inilah dalam paradigma Paulo Freire disebut kesadaran kritis. Menurutnya, tugas pendidikan adalah membawa peserta didik dari kesadaran magis menuju kesadaran kritis. Bisa jadi rendahnya kesadaran kritis masyarakat ini sebagai indikator kegagalan pendidikan kita. Siapa yang bertanggung jawab? Kita semua, terutama guru dan lebih-lebih penulis sendiri sebagai pengawas madrasah. Hehehe
Penulis: Fathorrasik, S. Ag., M.Pd.(Sekretaris PCNU Kangean)